Selalu ada alasan dari setiap
masalah dan selalu ada alasan kenapa jalanan macet. Begitu juga aku, selalu ada
alasan kenapa aku meninggalkanmu. Padahal kau selalu memberiku perhatian,
cinta, kasih dan segalanya. Tapi tetap saja ada suatu alasan kenapa aku
meninggalkanmu. Bukan banyak alasan tapi memang benar adanya hanya beberapa
alasan.
Semua berawal dari kemacetan pagi
itu. Jalanan ramai penuh sesak dengan kendaraan. Keegoisan orang – orang yang
ingin segera keluar dari kemacetan, agar bisa cepat sampai kantor, sekolah,
kampus, pasar atau tempat lain yang ingin mereka tuju. Kejadian hari ini
mungkin tidak akan terjadi kalau bukan karena tingkah konyolmu saat macet itu.
Saat itu aku berada disamping motormu dengan menggunakan motor bebek warna pinkku. Dan kau dengan motor gede warna
hitam yang gagah. Waktu itu kau sedang mendengarkan musik, terlihat dari kabel
putih yang ada dibalik Helm hitammu kebawah menuju tas yang ada dipundakmu.
Mungkin waktu itu kau begitu menikmati alunan lagu itu, hingga tanpa sadar kau
bernyanyi keras seolah saat itu kau sedang ada dikamarmu sendirian. Semua orang
yang ada disekitarmu menatapmu dengan tatapan aneh, salah satunya mungkin
mereka pikir kau orang gila yang mengendarai motor bagus dan mahal. Sampai –
sampai seorang supir angkutan umum berteriak padamu untuk berhenti, tapi
sayangnya kau begitu terbawa oleh alunan musik hingga tak mendengar suara supir
angkutan umum itu. Tapi berbeda denganku, aku yang ada disebelahmu tak
melihatmu sebagai orang gila, aku justru menikmati suaramu. Dan juga tertawa
geli melihat tingkahmu yang menggerakkan kepala dan kadang kala menghentakkan
kaki. Sampai – sampai aku penasaran lagu apa yang kau dengar saat itu. Aku
terus menatapmu dengan terus tekikik geli melihat tingkahmu. Kemacetan mulai
terurai, sedikit demi sedikit aku menjalankan motor bebekku. Namun, sepertinya
aku terlalu terpesona padamu hingga tak menyadari kalau kau tengah berhenti.
Aku yang terkejut tak sempat menarik remku dan akhirnya terjadilah tabrakan
kecil. Aku terus mengucapkan “Maaf”, tapi sepertinya kau tidak mau hanya ucapan
“Maaf”. Kau memberikan kode padaku untuk menepi, aku pun menurut karena memang
aku mau bertanggung jawab atas kesalahanku. Aku mengikuti isyaratmu untuk
menepi dan berhenti tepat dibelakangmu. Kau melihat – lihat motormu, yang
ternyata ada kerusakan disana. Sepakbor
bagian belakangmu pecah, dan kau memintaku untuk menggantinya. Sialnya, hari
itu aku sedang tak ada uang karena memang aku belum mendapatkan uang. Aku
memberimu kartu namaku untuk nomor telepon agar kamu dapat memberikan rincian
tagihan kerusakan ke Nomerku. Tapi nyatanya kau kurang puas dengan hal itu. Kau
justru meminta dompetku lalu mengembalikan SIM dan juga surat kendaraan motor.
Lalu kau memberikan 2 lembar uang 5000 Rupiah padaku. Dan kau mengatakan “ Ini
untuk beli bensin”. Saat itu ingin rasanya aku mengomel dan meminta kembali
dompetku, tapi apa daya ini semua karena kesalahanku dan aku pun menurut.
Setidaknya saat itu kau masih memiliki hati dengan memberiku uang bensin,
karena memang hari ini bensinku sedang habis.
Beberapa hari setelah kejadian
itu kau menelponku. Awalnya aku tidak tahu nomermu karena memang waktu itu aku
lupa untuk meminta nomer teleponmu dan aku juga tak menggubris Telepon darimu.
Hingga kau mengirimi aku sebuah sms yang berisikan tagihan kerusakan motor, aku
pun segera menelponmu. Meminta nomer rekeningmu, tapi kau justru meminta kita
untuk bertemu. Dan aku pun menurut karena aku tidak mau dituntut dengan tuduhan
tidak bertanggung jawab atas akibat dari kerusakan yang aku buat. Tapi ada satu
hal lagi alasan lain dari hanya sekedar bertanggung jawab, yaitu aku ingin
bertemu denganmu. Entah kenapa sejak kejadian pagi itu aku terus saja
memikirkanmu, memikirkan tingkah konyolmu, memikirkan suara dan bahkan memikirkan
gelengan kepala dan juga hentakkan kakimu. Hari untuk bertemu denganmu pun
tiba, kita berjanji untuk bertemu di sebuah cafe
yang dekat dengan alun – alun kota. Aku datang lebih awal dari jam janjian
kita, dan kau datang terlambat 15 menit dari jam janjian kita. Sore itu kau
menggunakan pakain casual, jaket warna biru, kaos berwana hitam, celana jin
panjang dan juga sepatu sneakers putih ada sedikit corak hitam disana. Entah
kenapa aku bisa menghapal setiap inci dari dirimu sore itu, padahal aku sendiri
tidak ingat apa yang aku gunakan sore itu. Apa karena kau begitu tampan hingga
aku mampu menghapalnya ? entahlah tapi menurutku kau selalu tampan sejak aku
melihatmu diantara kemacetan itu. Kau duduk dikursi depanku, dan kau tersenyum
padaku. Senyum yang terlihat begitu tulus dan manis. Kau mengulurkan tanganmu
dan mengucapkan namamu
“ Sunny putra haikal”
Itulah, namamu. Nama yang
mencerminkan dirimu sekali, Sunny atau dalam bahasa indonesia artinya cerah.
Ya, kau begitu bercahaya dan cerah, matamu, bibirmu semuanya begitu cerah, dan
juga hangat. Setiap detik dari hari itu tak pernah kulupakan, semua selalu
kuingat hingga saat ini. Setelah hari itu, pertemuan kita tak berhenti, kita
masih sering bertemu sekalipun masalah soal Sepakbor
itu sudah selesai. Pertemuan itu
berlanjut terus menerus, hingga suatu hari kau mengucapkan kata – kata yang
selalu aku tunggu – tunggu. Kau mengucapkan “ I Love You” saat matahari sedang
cerah, indah, dan hangat. Hari itu terasa semakin hangat karena kau mengucapkan
kalimat itu. Tak perlu waktu lama untukku memikirkannya, aku langsung menjawab
dengan anggukan kepala. Bunga – bunga yang ada disekitar kita seolah ikut
bahagia, entah kenapa hari itu bunga – bunga itu terlihat begitu indah.
Tahun pertama hubungan kita
berjalan baik – baik saja. Tahun kedua mulai ada sedikit konflik. Seperti siang
yang terik saat itu, kita yang sedang terjebak macet dijalan dengan udara yang
begitu panas membuat emosiku mudah meledak. Saat itu aku ingin pergi ketoko
buku,dan kau juga sedang ingin ke cafe untuk makan. Tapi cafe yang kau maksudkan jalan menuju kesana sedang macet parah.
awalnya kau bilang iya saat aku mengatakan lebih baik kita pergi ketoko buku
dulu, tapi diperjalanan tiba – tiba saja kau berbelok kearah jalan menuju cafe itu. Kau memang minta maaf saat itu
dan aku juga memaafkanmu, tapi tetap saja ini bukanlah hal yang benar. Hari
demi hari berlalu dan berganti menjadi minggu lalu berganti menjadi bulan.
Keegoisanmu itu semakin terlihat saja, aku yang juga ingin keinginanku terkabulkan
pun seringkali menunjukkan keegoisanku. Tak ada dari kita yang ingin mengalah,
tiap kita bertemu kita selalu bertengkar. Kita seperti berada dalam kemacetan
saat kita bertemu dulu. Orang – orang saling berteriak, membunyikan klakson
mereka, tak ada satu dari mereka yang ingin mengalah, sama dengan kita saat
ini.
Dan hari ini, aku Rainy Setya
Andini menyerah. Aku menyerah untuk selalu berada disamping Sunny Putra Haikal,
aku menyerah untuk menuruti keinginannya, aku menyerah atas segalanya yang
berhubungan dengan Sunny, AKU MENYERAH. Aku tidak mau kita terus terjebak dalam
kemacetan. Mungkin menyerahnya aku ini adalah jalan agar kemcetan ini tidak
terus berlanjut. Terimaksih untuk segalanya, semoga kita akan tetap menjadi
teman sekalipun kita berpisah. Selamat tinggal Sunny Putra Haikal.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar